3 Mar 2014 | By: Unknown

Menjemput Peri Kecil

Ove di cafe Wuluhan, Jember
SMS dari Ovi masuk berkali-kali dalam ponselku. Ya. Peri Kecil, begitu aku menyebutnya. Dia mengingatkan aku untuk Sholat Jum'at dan janjiku yang akan menjemputnya di Terminal Bungurasih. 

"Say kamu jadikan jemput aku nanti di Surabaya" Dia meragukak janjiku karna kemarin aku sempat tidak enak badan.
"Iya aku jemput" Dalam pesan balasanku pada Ovi.

Hari Jum'at yang panas.

Motor warna merah milikku sudah siap mengantarku diterminal Jember, Ketika itu jam 1 siang, saat panas masih menyengat dikulit. Namun aku sudah janji. Setibaku di terminal Tawang Alun, aku memarkirkan motor di dekat pintu barat terminal.

"Di ambil nanti malam pak" Sembari aku menanda tangani buku parkir yang tertera nomor polisi sepedah motorku.
"Rp.5000" kata petugas parkir yang memberi ku karcis.

Ini kali kedua aku menjemput Ovi di Terminal Bungurasih, dengan alasan yang sama aku menjemputnya kembali.

Semua karena Sayang.

Ada yang bilang kayak gak ada kerjaan aja dari Jember ke Surabaya lalu ke Jember lagi di waktu itu juga, tapi itu bukan masalah buatku. Sebab yang masalah buatku adalah seorang perempuan yang sekarang aku sayang naik bus dari Surabaya ke Jember sendirian pada malam hari.

Khawatir dan takut terjadi apa-apa membuat aku menjemput Ovi di Surabaya. Perjalanan seperti ini hanya saat Ovi berangkat malam saja, jika berangkat pagi aku tak menjemputnya di Surabaya. Aku biasa menunggunya di Terminal Jember sembari bertemu kawan lama jika Ovi berangkat Pagi dari Surabaya.

Ovi memang sudah beberapa kali ke Jember, Dia menghabiskan waktu libur ke Jember ketika sudah penat dengan pekerjaannya yang di Surabaya. Tentunya juga bertemu dengan Ku.

Jam 13:30 wib

Aku mulai menaiki Bus Patas Jatim menuju Surabaya, kali ini aku menaiki Bus P.O Mila. Bus yang aku tumpangi cukup nyaman dengan kursi empuk dan kamar kecil dekat pintu belakang, namun sekarang ada yang membuatku tak nyaman ruangan AC dalam bus membuat bau duren gak hilang-hilang.

"Ach... Kenapa duren di bawa masuk???" pikirku kesal.

Beberapa menit aku mengalihkan perhatianku dengan bau duren di ruangan dengan memandangi arah luar gak cukup buat rasa mual ini hilang. Tempat dudukku mendukung untuk ini, sebab aku duduk di samping kaca yang bisa melihat banyak variasi pemandangan, sawah, rumah, dan pasar. Tapi mau gimana lagi semua itu gak membuat mual ini ilang.

Ponsel ku ambil saku jaket sebelah kanan dan sms ke Ovi.
"Say perut aku gak enak, munek-munek rasane"
"knp lho"
"Bau duren dalam bus"
"hahahaha.... Bukane enak bau duren"
"Megelno, lek mambu keterusan yo gak enak pisan"

Upaya mengalihkan perhatian dari perut mualku dengan SMS juga gak membuahkan hasil, yang ada aku malah pusing dengan huruf kecil-kecil yang aku ketik dari HP ku.

"Sudah dulu ya, aku tambah mual" SMS trakhirku pada Ovi dan sekaligus aku menyenderkan kepala berharap bisa tidur.

Alhamdulillah aku bisa tidur akhirnya.

Aku terbangun dan bau itu serasa sudah akrab dengan hidung dan perutku.
"Sudah sampai Probolinggo, masih kurang separuh perjalanan", aku mulai tenang dan memulai percakapan dengan orang yang duduk di sampingku. Sepertinya aku tidak asing dengan logat dari bapak ini.

"Asalnya dari mana pak?" tanyaku untuk menjawab rasa penasaran yang sepertinya aku mengenal logatnya.
"Dari Sumedang"
Nah.... Benar, aku tak salah menebak asal bapak ini tinggal. Logat sunda itu terasa tak asing untuk telingaku. Jadi ingat dulu ketika aku masih berada di Karawang. Ya. Aku sempat tinggal di tanah Pasundan beberapa tahun, jadi logat itu terasa tidak asing bagiku.

Percakapan terus berlangsung hingga sampai kota Pasuruan, dan aku kembali memangdangi arah luar yang menyajikan masih kokohnya bangunan-bangunan kuno masa penjajahan Belanda dulu. Beberapa bangunan tak terurus, dan beberapa lagi bagus dengan pemanfaatan sebagai tempat makan. Andai aku punya uang banyak, aku juga ingin punya tempat bergaya bangunan Belanda yang kujadikan Cafe. Seperti mimpiku di bangunan bekas Jember Outlet.

Senja di langit pasuruan mulai berganti malam, dan sudah tidak terhitung berapa kali aku ganti posisi duduk.

"henggggg....hengggg..." HP ku bergetar. Oh...Dari Ovi yang menanyakan posisiku
"Sudah sampai mana?" Dia beberapa kali menanyakan itu, hanya ingin memastikan jika nanti ketika dia berangkat dari Geresik aku tak terlalu lama menunggu di terminal.
"Sudah masuk tol, sebentar lagi sampai kok"
"Aku siap-siap, bentar lagi berangkat dari rumah, disini grimis"

Bus yang ku tumpangi mengurangi kecepatannya.
"Sepertinya sudah mau keluar tol" namun aku salah, ternyata macet panjang berada di depan.
"Ach...bakal lama nie" beberapa menit berlalu dengan bus berjalan lamban sampai aku tiba di Terminal Bungurasih.
"Aku sudah sampai terminal Say"
"Aku masih di bus mungkin akan lama, soalnya macet" Ovi terjebak macet yang sama sepertiku tadi.

Di bawah lampu jalan aku menunggu Ovi dan berpindah ke warung pojok terminal ketika perut ini mulai membunyikan suara khasnya yang sedang kosong.
Nasi Campur dengan lauk rempelo dan minuman teh manis hangat mengisi perut ku, tak tersa sudah 30 menit dan aku memesan Kopi Hitam untuk menemani ku menunggu Bus P8 yang di tumpangi Ovi datang.

Pijat di Trotoar Terminal Bungurasih
Terlihat dua bapak-bapak berjalan ke arahku dengan membawa gulungan karpet yang cukup besar, entah itu apa. Aku hanya memperhatikan dengan santai di bangku depan warung. Bapak itu menyapu trotoar jalan samping barat warung, di bawah pohon rindang yang aku tak tahu nama pohonnya. membersihkan kubangan air dengan sapu korek dan menggelar karpet yang dibawahnya.

"Mau apa bapak ini?" tanyaku dalam hati.

Di gelarnya kasur tipis dengan sprei dan lengkap beserta bantal di atas karpet tadi. Aku baru tahu maksudnya setelah salah satu orang menghampirinya meminta di pijat. Dua bapak ini adalah tukang pijat di trotoar Terminal Bungurasih. untuk memijat bapak ini menggunakan "hand and body lotion" untuk memper mudah ketika mengurut otot-otot yang letih dari si pasien.
Hiruk pikuk dalam terminal bukan menjadi alasan dua bapak ini. Aku melihat salah satu bapak itu mulai memijit dan terlihat sangat piawai, namun sayang aku belum bisa ngobrol panjang dengan tukang pijit satu ini, sebab bus yang di tumpangi Ovi sudah datang di terminal.

Ovi yang memakai jaket merah muda kesayangannya mulai melangkah turun dan menjumpaiku. Kami mulai ngobrol tentang perjalanan tadi, perut mualku, macet, dan lain-lain sembari berjalan menuju keluar untuk menumpang bus ke Jember.

6 komentar:

dey mengatakan...

Perut mual, macet, dll langsung ilang ya setelah ketemu Peri Kecil ;)

Unknown mengatakan...

hahahaha..... hilang langsung bude :)

Anonim mengatakan...

Aaahhh ...
Peri Kecil kesayangan ...

BTW : saya belum pernah melihat bapak-bapak gelar karpet di bungur asih ...
sepertinya ini baru ... dulu ... duluuuuu sekali sepertinya belum ada

Salam saya Pije

(4/3 :8)

Unknown mengatakan...

hehehe... iya Om

Tukang pijit ini ada di timur mushola terminal, samping arah masuk bus kota. :)
Gak tahu sejak kapan, soalnya gak sempet ngobrol :)

Salam balik om

Anonim mengatakan...

Peri kecil iki maksude sek anak kecil tah?? hahaha

Unknown mengatakan...

Peri Kecil iku bukan anak kecil bray... :)
tapi di ibaratkan Kebaikan Kecil namun terus menerus seperti peri. wah ruwet ngomonge bray :) pokok kebaikan wez.

Posting Komentar