vjlie (Mohamat Solihin) |
Sudah genap satu tahun aku tidak punya pendapatan tetap, setelah proses pemutusan hubungan kerja (PHK) kemarin. Keinginanku memang ingin istirahat sebentar, sembari aku mengenal kehidupan lain yang belum pernah aku dalami. Sewaktu aku masih sekolah, aku memiliki kehidupan yang tak begitu berwarna. Aku bersekolah di SMK Negeri 2 Jember, semua temanku dalam kelas sama sepertiku. laki-laki.
Sehari-hari aku kesekolah hanya ketemu wajah-wajah yang tak punya paras ayu, karena aku berada dalam kurungan yang bernama STM.
Selepas sekolah aku mengikuti tes kerja di Surabaya. Satubulan setelah itu aku kerja di kota Karawang, kota dengan balutan industri. Semua orang sibuk dengan dunia kerja, macet, bunyi klakson, pak ogah, dan lain-lain.
Keseharianku seperti burung dalam sangkar.
Pagi-pagi sekali aku berangkat kerja untuk menghindari macet, namun semua orang berfikiran sama sepertiku dan akhirnya macet. Selepas kerja badan terasa capek dan harus istirahat untuk menjaga kesehatan. Kehidupan yang monotone terjadi dalam hidupku ketika itu, bagaimana tidak keseharianku seperti robot yang bernafas, lingkup bergaulku semakin dibatasi ketika aku bekerja dengan sistem kerja shiff. Seiring itu aku mulai mempelajari kehidupan di sekelilingku, mempelajari bagaimana kehidupan di kota industri, dalam otak kecilku mulai bertanya-tanya.
Kenapa perusahaan enggan menerima karyawan dari penduduk lokal?
Kenapa harus pak ogah yang mengatur lalulintas dengan upah uang receh?
Kenapa banyak pergaulan bebas?
Kenapa kota dengan omset besar tapi jalan rusak?
Kenapa banyak LSM?
Kenapa?
Kenapa?
Kenapa?
Pertanyaan-pertanyan itu terus ada dalam benakku ketika aku pulang kerja dan melihat anak-anak muda seusiaku lebih asik membawa bekas ember cat dan menyodorkan kepengendara dibanding dia bekerja sepertiku.
Ach..Ternyata aku keliru.
Ketika kontrakan aku berada di bantaran Kali Malang, satu pertanyaan aku mulai terjawab oleh pemuda sebayaku, sayang aku lupa nama dia. "Gue bukanya kagak mau kerja, tapi pabrik kebanyak milih orang luar kota, karena mereka menganggap kita-kita ini malas." kata sahabatku yang baru 2 bulan aku kenal.
Kok jadi melebar gini.
Sehari-hari aku kesekolah hanya ketemu wajah-wajah yang tak punya paras ayu, karena aku berada dalam kurungan yang bernama STM.
Selepas sekolah aku mengikuti tes kerja di Surabaya. Satubulan setelah itu aku kerja di kota Karawang, kota dengan balutan industri. Semua orang sibuk dengan dunia kerja, macet, bunyi klakson, pak ogah, dan lain-lain.
Keseharianku seperti burung dalam sangkar.
Pagi-pagi sekali aku berangkat kerja untuk menghindari macet, namun semua orang berfikiran sama sepertiku dan akhirnya macet. Selepas kerja badan terasa capek dan harus istirahat untuk menjaga kesehatan. Kehidupan yang monotone terjadi dalam hidupku ketika itu, bagaimana tidak keseharianku seperti robot yang bernafas, lingkup bergaulku semakin dibatasi ketika aku bekerja dengan sistem kerja shiff. Seiring itu aku mulai mempelajari kehidupan di sekelilingku, mempelajari bagaimana kehidupan di kota industri, dalam otak kecilku mulai bertanya-tanya.
Kenapa perusahaan enggan menerima karyawan dari penduduk lokal?
Kenapa harus pak ogah yang mengatur lalulintas dengan upah uang receh?
Kenapa banyak pergaulan bebas?
Kenapa kota dengan omset besar tapi jalan rusak?
Kenapa banyak LSM?
Kenapa?
Kenapa?
Kenapa?
Pertanyaan-pertanyan itu terus ada dalam benakku ketika aku pulang kerja dan melihat anak-anak muda seusiaku lebih asik membawa bekas ember cat dan menyodorkan kepengendara dibanding dia bekerja sepertiku.
Ach..Ternyata aku keliru.
Ketika kontrakan aku berada di bantaran Kali Malang, satu pertanyaan aku mulai terjawab oleh pemuda sebayaku, sayang aku lupa nama dia. "Gue bukanya kagak mau kerja, tapi pabrik kebanyak milih orang luar kota, karena mereka menganggap kita-kita ini malas." kata sahabatku yang baru 2 bulan aku kenal.
Kok jadi melebar gini.
Terus terang aku merasakan bosan, pergaulanku sempit dan aku tak bisa melihat dunia luar yang katanya luas dan berwarna itu. Tahun demi tahun berjalan aku mulai melihat dunia luar ketika aku dalam proses skorsing. Bagai burung lepas dalam sangkar, aku masih bingung mau kemana hendak pergi ketika aku mengepakkan sayapku. Sempat aku tinggal di Bandung, dan kemudian kembali ke kota tempat tinggalku sebenarnya (Jember) dan belajar banyak hal.
Aku salah satu produk SMK, dalam otakku tertanam bagaimana ketika aku lulus bisa bekerja. Benar jika bekerja dalam lingkup mandiri, kurang benar jika bekerja hanya sebagai robot perusahaan.
Kali ini aku aku tak ingin mengulangi hal yang pernah aku lakukan dulu, bekerja di sebuah pabrik dan sisa hidupku habis dengan cara monotone. Namun aku butuh penghasilan, dan satu minggu ini aku stres akan hal ini. Sudah saatnya aku memulai kehidupanku dan mencari sumber penghasilan, namun tak seperti dulu. Menjadi seorang penulis aku tak pandai menulis, wawasanku hanya sedalan mata kaki, menjadi seorang fotografer juga tak begitu lengkap peralatanku begitu juga pengalaman, memulai sebuah usaha tapi aku tak punya modal yang bernama uang.
Lalu aku harus bagaimana?
Waktu terus berputar dan kebutuhanku terus bergulir seiring berputarnya waktu. Sesekali aku melihat lowongan kerja tapi bayang masa lalu membuatku berfikir ulang untuk menuliskan lamaran.
Apa ini proses sebuah pendewasaan? Aku bingung, aku butuh sebuah masukan untuk aku bisa berpegang, butuh rangkulan untuk aku bersemangat. Namun aku harus kuat, tak ada ujian yang tak bisa dilewati, bukankah semakin berat ujian itu semakin Tuhan sayang padaku, semakin bisa mendekatkanku pada NYA.
Hem....tapi aku stres dengan semua ini, kepala ini rasanya berat. Sebuah pilihan yang sulit buatku, namun aku harus memilih meski nantinya aku harus melawan ke egoisan aku dan kembali bekerja seperti dulu.
1 komentar:
podo,,,,, hahahahaaha
Posting Komentar