|
Bapak, Emak, Amanu |
Malam kemarin aku masih tidur di Panaongan, sudah dua hari aku tak kembali kerumah. Aku sedang mencari info pekerjaan dari teman yang aku kenal. Malam kedua aku tak bisa tidur hingga subuh datang. Aku resah seperti ada yang aneh tapi aku tak tahu itu apa.
Malam hari sebangaun aku dari tidur siang aku putuskan pulang kerumah, sampai rumah Adik sudah tidur, tingga Emak dan Bapak yang masih menonton TV
"Amanu golek'i awaktu tok maolai sore mau" Kata emak
|
Amanu di ruang depan |
Ahmad Amanu namun biasa aku panggil Manu atau Nu saja.
Amanu dilahirkan 17 Agustus 1993, dia dilahirkan tak seperti anak yang lainnya. Ya. Amanu cacat fisik dan keterbelakangan dia juga mempunya Step. pernah kutulikan sini
Adik ku sayangMasih aku ingat ketika itu.
Amanu tidak bisa berjalan, dia ngesot. Kakinya lumpuh tak kuat menopang badan dan kepalanya yang membesar. Namun hari raya idulfitri Allah memberi kado indah lewat kejadian yang amanu alami. Amanu jatuh dan kejang-kejang setelah aku tabrak saat aku asik bermain dengan temanku.
Amanu dilarikan kerumah sakit RSUD Balung ketika itu, menjalani rawat inap yang tak sebentar. Amanu kecil diberi selang yang diletakkan di tenggorokannya dan di sedot dengan alat hingga mengeluarkan lendir-lendir. Sejak kejadian itu Amanu punya perlakuan yang lebih dan bisa dibilang sangat lebih.
Setelah kejadian itu Amanu bisa berjalan, semua juga tak lepas dari pijitan Mbok Yem (Almarhumah) setiap hari. Kado yang indah diberikan Allah pada keluarga kami, sehingga Amanu tak lagi ngesot.
Amanu juga punya kabiasaan keliling kampung setiap sore, di bonceng Mbak naik sepeda motor.
Kadang juga aku atau Bapak, tergantung siapa yang sedang tak sibuk waktu itu. Rutinitas baru setelah Amanu bisa berjalan.
Sudah lama Amanu tak lagi keliling kampung sore hari sejang mbak menikah.
Amanu adalah adik yang aku sayang, dia meski tak sempurna dalam fisik namun punya hati yang lebih baik dari yang sempurna fisiknya. Perhatiaanya terhadap Emak begitu besar, subuh amanu sudah bangun untuk membangunkan Emak untuk bersiap kepasar. Itu rutinitas setiap hari sejak Bapak jatuh sakit sehingga usahanya bangkrut dan barang berharga habis di jual untuk kesembuhan Bapak. Kemudian Ibu yang bekerja menggantikan bapak mencari nafkah dengan berjualan keliling.
Aku sempat di telepon sama sama kakak, ketika aku masih bekerja di karawang.
"Amanu kate ngomong" kata kakak
"Opo Nu?"
"Kapan sampean balik Cak, gak kangen ta karo aku?"
"yo kangen rek.... emben cacak balik Nu"
Kegembiraan terdengar dari tawa girangnya ketika mendengarkan aku mengatakan akan pulang tak lama lagi.
Mendengar aku berhenti kerja, Amanu tak lagi memperbolehkan aku pergi jauh merantau lagi.
"Nu... Cacak'e budal (berangkat kerja jauh) maneh oleh?"
"Wez gak usah cak, meneng kene ae wez. Mak'e (Ibu) sopo seng jogo engkok?
Sedari itu aku ingin tinggal dan menghabiskan waktu di Jember, sesuai keinginan manu. Namun aku masih ingin jalan-jalan sebelum kembali bekerja untuk saat itu. Waktuku sering aku pakai buat jalan jalan selama setahun terakhir, dan beberapa hari keluar rumah.
Amanu selalu
geridu ketika aku tak pulang kerumah beberapa hari, itu yang aku tahu dari obrolan Emak.
Termasuk malam itu, saat aku pulang dari Panangaon sampai Dia terlelap.
Pagi Hari 13 November 2013
Seperti biasa Amanu menjalani aktifitas pagi, membangunkan Emak dan menyiapkan beberapa dagangan sebisa Amanu.
Selang beberapa lama aku mendengar tubuh bongsornya jatuh lantai tanah ruang belakang.
Emak menjerit, dan keributan mulai terjadi. Beberapa tetangga datang dan mengangkat tubuh bongsor Amanu ke kasur yang tak jauh dari tempatnya jatuh.
Step Amanu kambuh, penyakit ini Amanu bawa sepanjang umurnya.
Tubuhnya kejang, dan mengeluarkan suara seperti orang ngorok.
Wajah emak Pucat.
Emak memijat kaki Amanu bagitu juga dengan bapak. Bapak memijat tangan-tangan amanu dengan perlahan.
Doa kesembuhan di panjatkan, situasi yang panik setiap penyakit ini kambuh.
Beberapa jam Amanu masih kejang-kejang, aku kemudian yang menggantikan Emak memijat kaki-kaki Amanu.
Menjelang siang tukang pijit datang dan Amanu mulai menampakkan kesembuhan. Dia tak lagi kejang-kejang namun tetap mengeluarkan suara seperti orang ngorok.
Tak ada pikiran untuk membawanya kerumah sakit ketika itu, ini hal yang sudah terulang berkali-kali sehingga kami menganggap ini akan sembuh setelah Amanu tak lagi kejang-kejang.
Seharian Manu tak makan dan minum, matanya yang punya tonjolan daging mengempes dan tubuhnya lemas. Aku perlahan masuk ke kamar dan menangis meminta pada sang Maha Agung (Allah) untuk memberinya kesembuhan.
Jam 21:00 wib
Aku mendampingi Amanu di ruang belakang, Emak saat itu tidur di kursi panjang tak jauh dari Amanu. Aku memeluknya, tubunya masih hangat, matanya mulai mengering kehabisan air mata yang seharian iya keluarkan. Sesekali aku kembali kekamarku dan membuka laptop, mencari info-info seputar apa yang amanu derita dan obatnya.
Jam 23:00 wib
Amanu mencuri perhatianku dengan suara-suara seperti ketukan. Dia memukul tembok berkali-kali untuk memanggil sebab dia tak lagi bisa mengeluarkan suara. Aku kembali mendekat dan memeluknya, menenangkan dia.
Amanu seperti orang yang bingung, pandangannya mengarah kesegalah arah dengan capat.
"Opo Le, Cacak nangkene"
"Wez ndang waras......"
Setiap aku beranjak meninggakalannya, Amanu berkali-kali itu juga memukulkan tangnnya ke tembok.
"Ini isyarat buatku, aku tak akan meninggalkan dia lagi" dalam batinku.
Aku mulai mengajaknya ngomong meski aku tahu dia tak bisa menjawabnya, menceritakan kenginginan kesembuhan buatnya. Sebab baru kali ini Amanu step dari pagi hingga malam tak juga sembuh. Suara Amanu mulai aku dengar ketika tengah malam, entah jam berapa waktu itu. sepertinya lewat dari jam 12 malam.
"aaaa...aaaa...aaaa" itu saja yang aku dengar, dia seperti memanggil ku berulang-ulang.
"Opo le? ngombe banyu gulo ta?" Aku lantas membangunkan Emak, menintanya membuat air gula.
"Manu wez ngomong Mak, gawekno wedang golo. kepingin ngombe iki mulai mau wetenge gak keisi" kataku pada Emak
Aku membangunkan dia, membuatnya berposisi duduk dengan aku sebagai sandarannya. Pelukan ku tak lepas meski aku meminumkan air gula ini sendok demi sendok.
Emak kebelakang, membuatkan bubur untuk Amanu.
"Waras yo le......." suara Emak yang ku dengar dari dapur dengan nada sedih.
Belum dingin bubur yang dibuat Emak, baru empat sendok air manis ini dia telan, Amanu yang aku peluk memegang tanganku sebelah kanan.
Tangan sebelah kiriku merasakan detak jantungnya yang semakin pelan berdetak beberapa menit terakhir hingga berhenti.
Hal yang tak bisa aku lupakan, Adik yang aku sayang meninggal di pelukanku tepat pukul 02:00 14/11/2013.
Aku mencoba membangunkannya, mengajaknya ngomong sembari memeluk erat tubuhnya. Ini seperti mimpi.
"Nu... ojok guyon Nu"
Emak menangis, piring bubur yang ditangannya diletakkan sembarang di ujung tempat tidur.
Aku menekan dadanya beberapa kali, sempat batuk namun itu hanya batuk yang tak membuatnya sadar dan membuat jantungnya berdetak kembali.
Beberapa hari kemarin aku sempat di peluknya dengan erat, Dia menunjukan bau harum rambutnya yang baru saja memakai shampo, memintaku tak pergi kerja jauh lagi. akhir pelukan Dia bertanya padaku.
"Sampean sak'aken gak Cak karo aku?"
"Yo sa'aken le...." sambil aku memelunya kembali.
Tuhan punya rencana lain untumu Nu, 20 tahun sudah waktu yang lama buat km ada dalam tubuh yang tak sempurna. Tuhan tak ingin melihatmu semakin lama menahan sakit dari kejang-kejangmu, sakit hatimu yang sering di ejek bocah yang jauh lebih muda darimu sampai kau marah. Aku juga tak ingin melihatmu menangis lagi dengan ejekan-ejekan yang membuat kuping panas itu, melihatmu iri karena tak bisa bermain selayaknya anak seusiamu.
Aku tahu km begitu baik hati meski mereka kerap membuatmu meradang.
Pesanmu akan Cak Lihin pegang, semoga Tuhan memberimu tempat yang indah dan rupa yang tampan. Disini Cak Lihin hanya bisa mengirimmu doa, menjaga Emak seperti yang kau pinta.
Selamat Jalan Adik ku..... Selamat Jalan.