28 Mar 2014 | By: Unknown

Amanu Pulang

Bapak, Emak, Amanu
 Malam kemarin aku masih tidur di Panaongan, sudah dua hari aku tak kembali kerumah. Aku sedang mencari info pekerjaan dari teman yang aku kenal. Malam kedua aku tak bisa tidur hingga subuh datang. Aku resah seperti ada yang aneh tapi aku tak tahu itu apa.

Malam hari sebangaun aku dari tidur siang aku putuskan pulang kerumah, sampai rumah Adik sudah tidur, tingga Emak dan Bapak yang masih menonton TV

"Amanu golek'i awaktu tok maolai sore mau" Kata emak

Amanu di ruang depan
Ahmad Amanu namun biasa aku panggil Manu atau Nu saja.
Amanu dilahirkan 17 Agustus 1993, dia dilahirkan tak seperti anak yang lainnya. Ya. Amanu cacat fisik dan keterbelakangan dia juga mempunya Step. pernah kutulikan sini Adik ku sayang

Masih aku ingat ketika itu.
Amanu tidak bisa berjalan, dia ngesot. Kakinya lumpuh tak kuat menopang badan dan kepalanya yang membesar. Namun hari raya idulfitri Allah memberi kado indah lewat kejadian yang amanu alami. Amanu jatuh dan kejang-kejang setelah aku tabrak saat aku asik bermain dengan temanku.

Amanu dilarikan kerumah sakit RSUD Balung ketika itu, menjalani rawat inap yang tak sebentar. Amanu kecil diberi selang yang diletakkan di tenggorokannya dan di sedot dengan alat hingga mengeluarkan lendir-lendir. Sejak kejadian itu Amanu punya perlakuan yang lebih dan bisa dibilang sangat lebih.

Setelah kejadian itu Amanu bisa berjalan, semua juga tak lepas dari pijitan Mbok Yem (Almarhumah) setiap hari. Kado yang indah diberikan Allah pada keluarga kami, sehingga Amanu tak lagi ngesot.

Amanu juga punya kabiasaan keliling kampung setiap sore, di bonceng Mbak naik sepeda motor.
Kadang juga aku atau Bapak, tergantung siapa yang sedang tak sibuk waktu itu. Rutinitas baru setelah Amanu bisa berjalan.

Sudah lama Amanu tak lagi keliling kampung sore hari sejang mbak menikah.

Amanu adalah adik yang aku sayang, dia meski tak sempurna dalam fisik namun punya hati yang lebih baik dari yang sempurna fisiknya. Perhatiaanya terhadap Emak begitu besar, subuh amanu sudah bangun untuk membangunkan Emak untuk bersiap kepasar. Itu rutinitas setiap hari sejak Bapak jatuh sakit sehingga usahanya bangkrut dan barang berharga habis di jual untuk kesembuhan Bapak. Kemudian Ibu yang bekerja menggantikan bapak mencari nafkah dengan berjualan keliling.

Aku sempat di telepon sama sama kakak, ketika aku masih bekerja di karawang.
"Amanu kate ngomong" kata kakak
"Opo Nu?"
"Kapan sampean balik Cak, gak kangen ta karo aku?"
"yo kangen rek.... emben cacak balik Nu"

Kegembiraan terdengar dari tawa girangnya ketika mendengarkan aku mengatakan akan pulang tak lama lagi.

Mendengar aku berhenti kerja, Amanu tak lagi memperbolehkan aku pergi jauh merantau lagi.

"Nu... Cacak'e budal (berangkat kerja jauh) maneh oleh?"
"Wez gak usah cak, meneng kene ae wez. Mak'e (Ibu) sopo seng jogo engkok?

Sedari itu aku ingin tinggal dan menghabiskan waktu di Jember, sesuai keinginan manu. Namun aku masih ingin jalan-jalan sebelum kembali bekerja untuk saat itu. Waktuku sering aku pakai buat jalan jalan selama setahun terakhir, dan beberapa hari keluar rumah.

Amanu selalu geridu ketika aku tak pulang kerumah beberapa hari, itu yang aku tahu dari obrolan Emak.
Termasuk malam itu, saat aku pulang dari Panangaon sampai Dia terlelap.

Pagi Hari 13 November 2013
Seperti biasa Amanu menjalani aktifitas pagi, membangunkan Emak dan menyiapkan beberapa dagangan sebisa Amanu.

Selang beberapa lama aku mendengar tubuh bongsornya jatuh lantai tanah ruang belakang.
Emak menjerit, dan keributan mulai terjadi. Beberapa tetangga datang dan mengangkat tubuh bongsor Amanu ke kasur yang tak jauh dari tempatnya jatuh.

Step Amanu kambuh, penyakit ini Amanu bawa sepanjang umurnya.
Tubuhnya kejang, dan mengeluarkan suara seperti orang ngorok.
Wajah emak Pucat.
Emak memijat kaki Amanu bagitu juga dengan bapak. Bapak memijat tangan-tangan amanu dengan perlahan.
Doa kesembuhan di panjatkan, situasi yang panik setiap penyakit ini kambuh.

Beberapa jam Amanu masih kejang-kejang, aku kemudian yang menggantikan Emak memijat kaki-kaki Amanu.
Menjelang siang tukang pijit datang dan Amanu mulai menampakkan kesembuhan. Dia tak lagi kejang-kejang namun tetap mengeluarkan suara seperti orang ngorok.

Tak ada pikiran untuk membawanya kerumah sakit ketika itu, ini hal yang sudah terulang berkali-kali sehingga kami menganggap ini akan sembuh setelah Amanu tak lagi kejang-kejang.

Seharian Manu tak makan dan minum, matanya yang punya tonjolan daging mengempes dan tubuhnya lemas. Aku perlahan masuk ke kamar dan menangis meminta pada sang Maha Agung (Allah) untuk memberinya kesembuhan.

Jam 21:00 wib
Aku mendampingi Amanu di ruang belakang, Emak saat itu tidur di kursi panjang tak jauh dari Amanu. Aku memeluknya, tubunya masih hangat, matanya mulai mengering kehabisan air mata yang seharian iya keluarkan. Sesekali aku kembali kekamarku dan membuka laptop, mencari info-info seputar apa yang amanu derita dan obatnya.

Jam 23:00 wib
Amanu mencuri perhatianku dengan suara-suara seperti ketukan. Dia memukul tembok berkali-kali untuk memanggil sebab dia tak lagi bisa mengeluarkan suara. Aku kembali mendekat dan memeluknya, menenangkan dia.

Amanu seperti orang yang bingung, pandangannya mengarah kesegalah arah dengan capat.
"Opo Le, Cacak nangkene"
"Wez ndang waras......"

Setiap aku beranjak meninggakalannya, Amanu berkali-kali itu juga memukulkan tangnnya ke tembok.
"Ini isyarat buatku, aku tak akan meninggalkan dia lagi" dalam batinku.

Aku mulai mengajaknya ngomong meski aku tahu dia tak bisa menjawabnya, menceritakan kenginginan kesembuhan buatnya. Sebab baru kali ini Amanu step dari pagi hingga malam tak juga sembuh. Suara Amanu mulai aku dengar ketika tengah malam, entah jam berapa waktu itu. sepertinya lewat dari jam 12 malam.

"aaaa...aaaa...aaaa" itu saja yang aku dengar, dia seperti memanggil ku berulang-ulang.
"Opo le? ngombe banyu gulo ta?" Aku lantas membangunkan Emak, menintanya membuat air gula.
"Manu wez ngomong Mak, gawekno wedang golo. kepingin ngombe iki mulai mau wetenge gak keisi" kataku pada Emak

Aku membangunkan dia, membuatnya berposisi duduk dengan aku sebagai sandarannya. Pelukan ku tak lepas meski aku meminumkan air gula ini sendok demi sendok.

Emak kebelakang, membuatkan bubur untuk Amanu.
"Waras yo le......." suara Emak yang ku dengar dari dapur dengan nada sedih.

Belum dingin bubur yang dibuat Emak, baru empat sendok air manis ini dia telan, Amanu yang aku peluk memegang tanganku sebelah kanan.
Tangan sebelah kiriku merasakan detak jantungnya yang semakin pelan berdetak beberapa menit terakhir hingga berhenti.

Hal yang tak bisa aku lupakan, Adik yang aku sayang meninggal di pelukanku tepat pukul 02:00 14/11/2013.

Aku mencoba membangunkannya, mengajaknya ngomong sembari memeluk erat tubuhnya. Ini seperti mimpi.
"Nu... ojok guyon Nu"

Emak menangis, piring bubur yang ditangannya diletakkan sembarang di ujung tempat tidur.
Aku menekan dadanya beberapa kali, sempat batuk namun itu hanya batuk yang tak membuatnya sadar dan membuat jantungnya berdetak kembali.

Beberapa hari kemarin aku sempat di peluknya dengan erat, Dia menunjukan bau harum rambutnya yang baru saja memakai shampo, memintaku tak pergi kerja jauh lagi. akhir pelukan Dia bertanya padaku.
"Sampean sak'aken gak Cak karo aku?"
"Yo sa'aken le...." sambil aku memelunya kembali.

Tuhan punya rencana lain untumu Nu, 20 tahun sudah waktu yang lama buat km ada dalam tubuh yang tak sempurna. Tuhan tak ingin melihatmu semakin lama menahan sakit dari kejang-kejangmu, sakit hatimu yang sering di ejek bocah yang jauh lebih muda darimu sampai kau marah. Aku juga tak ingin melihatmu menangis lagi dengan ejekan-ejekan yang membuat kuping panas itu, melihatmu iri karena tak bisa bermain selayaknya anak seusiamu.

Aku tahu km begitu baik hati meski mereka kerap membuatmu meradang.

Pesanmu akan Cak Lihin pegang, semoga Tuhan memberimu tempat yang indah dan rupa yang tampan. Disini Cak Lihin hanya bisa mengirimmu doa, menjaga Emak seperti yang kau pinta.
Selamat Jalan Adik ku..... Selamat Jalan.
22 Mar 2014 | By: Unknown

Lan Jalan ke Puncak B29 Argosari, Lumajang.

Bukit sebelum Argosari (Doc Pribadi)
Pagi masih basah, alarem ku berdering kencang pada pukul 06:00 wib. Mengingatkan aku untuk perjalanan ke Puncak B29 Agrosari, Lumajang.

"Ach... dering yang membuyarkan mimpi manisku kali ini"

Rasanya mata ini malas untuk membuka kelopaknya, namun aku sudah terbayang tentang sebuah puncak dan nanti aku berada di atas awan. Sebuah bayangan yang indah.

Aku seorang yang suka jalan-jalan, kali ini aku jalan-jalan ketempat yang belum aku kunjungi. Namanya memang mirip sabun, namun aku bukan sedang membahas sabun colek B29. Puncak B29 sendiri sebelumnya hanya aku kenal lewat beberapa artikel temen-temen dari lumajang, dan beberapa foto dari mesin pencari.

Foto Puncak B29 yang cantik menjadikan aku bersama teman-teman ingin mengunjunginya.

"Hallo...Aku mau otw ke senduro sekarang" Sms ku ke Mas Daniel.

Pagi itu Mas Daniel sudah berangkat terlebih dahulu ke Senduro, Lumajang. Dia menunggu aku, Yudha, dan Eko di Polsek Senduro.

Titik B29 berada di desa Argosari, Senduro, Lumajang. Kota yang berada disisi barat kota tempat aku tinggal (Jember).
Hari ini aku sengaja menumpang motor Yudha, sebab motor merahku lagi malas pergi ketempat yang tinggi. Maklum rantainya sudah tua.

Pemandangan sepanjang jalan dengan langit biru, sedikit menjadikan rasa lapar ini berkurang. Walau ketika sampai Kecamatan Senduro aku bingung cari tempat makan. Untung Mas Daniel punya langganan warung bebas di Senduro.

"Luwe aku mas, mangan nang endi iki?" Tanyaku ke Mas Daniel
"Mangan nang warung bebas kunu disek ae"
Setidaknya jawaban Mas Daniel memberi nafas lega buatku, walau belum tahu juga tutup atau tidak.

Nasi, Sayur Kangkung, dan Telur mengisi perutku yang dari berangkat tadi kosong, dan Es Teh Manis menjadi teman penutup.

Dari Senduro perjalanan kami menuju Puncak B29 masih lumayan jauh. cukup buat bokong ini terasa panas karena terlalu lama duduk.
Pikiran bokong panas mulai teralihkan ketika memasuki perbukitan lereng Gunung Semeru, samping kanan kiri jalan yang kami lalui begitu terlihat hijau dan puncak semeru yang terbalut awan putih di bawahnya, seakan awan itu menjadi cincin manis di puncak Mahameru.

Jalan menuju B29 (Doc pribadi)
Sepanjang perjalanan yang kami lihat hanya keindahan alam yang terhampar luas, hijau hutan, langit biru dengan kapas-kapas awan putihnya, tidak ada rumah atau pos-pos penjagaan. 

Setengah jam  perjalanan, kami sampai di perkampungan karena tak tahu arah kami menggunakan GPS (Gunakan Penduduk Sekitar) untuk bertanya, kali ini kami bertanya sambil ngopi dan makan bakso.

"Masih lurus terus mas, ikuti jalan" Jawab tukang bakso yang menunjuk arah Puncak B29

Jalan yang berliku kami lalui dengan pelan, rasa penasan akan puncak terus ada dalam hati. Ladang-ladang petani kentang menjadi penghias bukit yang terlihat kotak-kotak.

"Selamat Datang Dikawasan Wisata Desa Agrosari"

Akhirnya sampai juga.
Meski masih butuh sekitar lima kilo meteran buat sampai puncak. Setidaknya kami gak nyasar kali ini.

Hawa dingin mulai menembus kulit luarku, jaket tebal ini seakan basah. Basah hasil hempasan kabut tipis yang terus menyerang. Tanah yang kali ini aku pijak berada di ketinggian 2900 mdpl (Meter Dari Permukaan Laut). Tak terlihat apa-apa selain putih kabut yang kami lihat. Seakan kecewa yang terus ada dalam benak ketika yang terjadi tak seperti yang kubayangan.

Pasir berbisik, Gunung Bromo, Gunung Batok....Ach semuanya buyar karena kabut yang begitu tebal menutupi pandanganku.

Puncak B29 Agrosari, Senduro, Lumajang adalah tempat yang masih masuk dalam peta kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Tempat ini terletak di ketinggian 2900mdpl, jadi tak heran disaat-saat tertentu kabut begitu tebal yang menghalangi pemandangan disekitarnya.

Beberapa menit berlalu kami mulai disuguhi panorama alam yang megah, angin kencang menghempaskan kabut putih kearah barat dan membuka semua panorama yang sedari tadi tertutupi. Gunung Bromo, Pasir berbisik dan lain-lain juga terlihat.

Foto bersama-sama kita lakukan sebelum beranjak pulang.
Waktu yang mepet membuat kami mengakhiri perjalanan ini, paling tidak aku sudah tahu tempat dan jalurnya. Semoga aku masih diberi waktu untuk mengabadikan kecantikan alam Puncak B29 nanti.
view puncak B29 Foto : The Rizal (singgahlumajang)

12 Mar 2014 | By: Unknown

Sosok Itu Bernama "Dulitan"

Hem.... Pagi yang basah.
 
Jambearum, begitu desaku di sebuat olah banyak orang, berada di perbatasan kecamatan Puger dan Balung. Pagi ini genangan air bekas hujan semalam masih terlihat, dan Emak membuat suara khas dari sapu korek yang Dia pakai. Pagi yang tak berubah sedikitpun dari hari kemarin. Nenek-nenek menggendong cucunya dengan alunan suara mengayun dan cerita-certia. Burung-burung kecil tak mau kalah, suaranya melengking dari rimbun dedaunan bambu.

Rerumputan kecil memberiku mengingatkan aku tentang cerita-cerita dulu, certia masa kecil tentang Dulitan. Ya. Dulitan begitu orang
di desaku menyebutnya, Dulitan di gambarkan sebagai orang yang membawa karung dan celurit di tangannya, dalam karung berisi kepala anak kecil untuk dijadikan tumbal ketika musim buka giling.  

Emak selalu tak lupa memberi tahuku untuk berhati-hati ketika main, tak jarang Emak melarangku bermain ketempat yang jauh dan saat sorop (senja) tiba.

"Le lek beduk balek, lek dolan ojok adoh-adoh wedi onok dulitan" begitu ketika emak mengingatkan aku saat hendak bermain.

Letak desa ku yang tidak begitu jauh dengan kebun tebu milik Pabrik Gula Semboro menjadikan cerita Dulitan begitu melekat dalam keseharianku. Tambah-tambah saat tanaman tebu mulai berbunga dan beberapa lahan siap untuk di tebang.

Dalam fikirku tak pernah menjadikan cerita ini sebagai lelucon, lelucon orang tua yang tak ingin anaknya bermain terlalu jauh.

"Mungkin karne aku masih kecil"

Seirama dengan kawanku bermain.
Ketika itu aku sedang asik bermain neker di bawah rimbun pohon bambu, seketiak akaget dan reflek berlari kencang hanya karena melihat orang yang mirip dengan Dulitan. Membawa karung yang tak penuh dan membawa celurit, namun yang aku lihat tak membawa aret (celurit) ditangannya. Aku tak sempat berfikir itu adalah seorang pemulung, cerita yang begitu melekat dalam benakku menjadikan aku langsung lari tunggang langgang ke arah rumah.

Hahahaha.... Ketakutan yang berlebihan.

Hingga sekarang aku belum tahu jelas tentang Dulitan yang di katakan Emak. Tentang sosok yang membawa celurit dan karung yang bertugas memotong kepala anak kecil untuk di jadikan tumbal pabrik gula ketika akan buka giling.

Entah itu benar terjadi atau hanya propaganda era penjajahan Belanda?

Ach...Yang jelas itu sudah membuat aku takut.

Sudah bertahun-tahun cerita tentang Dulitan tak lagi aku dengar. Nenek-Nenek yang menggendong cucunya tak menceritakan tentang itu lagi, anak-anak kecil bermain kemana dia suka hingga berjam-jam juga tak lagi di wanti-wanti kan adanya Dulitan.

Syukur, cerita itu hanya berhenti kepadaku, sehingga anak-anak kecil sekarang tak lagi merasa ketakutan dan terlalu curiga. Terlebih pada pemulung yang sedang mencari nafkah.

Tertawa kadang saat berkumpul dan mengenang masa lalu. Masa kecil yang menakutkan dan menjadi lelucon saat masa remaja.

Catatan :
Seorang teman mengatakan pernah bertemu dengan Dulitan ketika Dia masih kecil, sosoknya sama seperti yang di gambarkan Emak pada ku. Namun itu tak di desaku, tapi di Pasuruan jauh dari Jember tempat aku tinggal.
11 Mar 2014 | By: Unknown

Sang Patriot (Letkol Mochammad Sroedji)

Penulis Buku : Irma Devita
"Mas iku seng nang depan pemda patung'e sopo?"
"Jenderal Sudirman ta?

Pertanyaan itu mengawali aku mengenal sosok tegap berdiri menghadap alun-alun kota jember. Ya. Patung tegap dengan Samurai di tubuhnya itu. Aku bertanya pada Mas Bro ketika ngobrol santai di Panaongan, pertanyaan yang sederhana dari orang yang penasaran tentang patung yang berdiri tegap depan Kantor Bupati Jember.

Mas Bro mulai menjelaskan tentang sosok itu. Dia seorang pahlawan berpangkal Letkol, Mochammad Sroedji namanya.

Ketika aku masih duduk di Sekolah Dasar di desa kecil yang berada di selatan kota Jember. Aku sama sekali tak melihat nama Mochammad Sroedji di daftar nama pahlawan yang ada dibuku sejarah.
Aku hanya mengenal sosok Jendral Sudirman yang menyandang Samurai di badannya, jadi maklun jika aku menyangka sosok tegap itu adalah Jendral Sudirman.

Aku hanya warga desa yang dekat dengan pesisir selatan Jember, jauh dari hiruk pikuk kota yang sabenhari bisa memandangai patung besar nan gagah yang tak pernah lelah melihat warga jember sibuk dengan pekerjaannya.

Lalu bertanya, siapa dia?

Awal tahun 2013 aku baru tahu kalau itu adalah pahlawan kota kecil ku. Lewat obrolan santai dan kopi hitam menjadi sajian aku mulai mengenalnya, cerita Mas Bro di dunia nyata maupun maya atau blog mulai membuka pengenatuanku terhadap Letkol Moch Sroedji.

Hari berganti dengan beriringan, aku mulai mengenalkan pada beberapa teman yang singgah ke Jember untuk mengenalnya. Mengenal seorang pahlawan yang romantis dan tak diketahui warganya sendiri. Sepertihalnya aku dulu.

Senopati Kecil, begitu aku mulai mengenal sosok Letkol Muchammad Sroedji lewat buku Sang PATRIOT. Dalam buku berkisah tentang perjalanan Senopati sedari masih belia yang mengalur lembut dengan kisah Persahabatan, Cinta, Pengorbanan, dan Penghianatan.

Aku bukanlah sejarawan, tapi aku menikmati sejarah jika di tulisakan mengalir dengan bukti yang benar dan dikemas secara santai, bukan seperti buku pelajaran atau seperti berita yang hanya bermodal sumber-sumber dari internet dan buku tanpa menggali lebih dalam pada pelaku sejarahnya.

Buku Sang Patriot memberi angin segar bagiku, bagi orang yang malas membaca buku tebal soal kepangkatan pahlawan dan tanggal-tanggal yang begitu banyak serta nama-nama asing. Aku bukan pembaca yang baik untuk buku-buku sejarah seperti itu, sebab aku penyuka buku-buku yang bercerita dengan susunan kata indah. Sang Patriot adalah Novel Sejarah, menuliskan tentang sejarah kepahlawanan sang Senopati Kecil ketika melawan penjajah.

Aku begitu menikamti alur cerita sang Senopati, tentang cintanya pada seorang kekasih yang menjadi ibu dari anak-anaknya, begitu juga tentang gaya dia menenangkan dan menghibur sang istri.

Ach...Aku terjebak dalam roman Senopati.

Senopati yang mencintai kekasihnya harus rela tak melihat anak dan istrinya beberapa minggu bahkan beberapa bulan untuk bertempur melawan penjajah. Seperti yang pernah di katakan Mas Bro "semua punya nilai". Senopati menilai perjuangannya begitu penting melawan penjajah untuk anak, cucu, dan penerusnya nanti agar tak menjadi jongos di negaranya sendiri. Pemikiran sepasang suami istri ini juga tertuang dalam novel, yang menjadikan kita terbawa arus untuk tak berhenti dahulu sebelum selesai membaca.

Namun aku mulai bosan ketika beberapa lembar yang aku baca mulai ke arah tanggal dan beberpa istilah asing, baik istilah jepang maupun belanda.

Tapi tersemat nama Soebandi, yang sekarang menjadi nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Jember. Soebandi adalah sahabat Sroedji, beliau menjadi dokter militer ketika itu. Sepasang sahabat ini berjuang bersama dalam menumpas penjajah.

Aku bukanlah seorang pengingat yang baik, makanya aku mulai jenuh dengan kata-kata asing itu, dan mulai semangat lagi saat cerita persahabatan tersemat di dalamnya. Ketika mulai memasuki lembaran tengah buku, penulis rupanya menceritakan kembali kisah-kisah heroik dan kebesaran cinta.

Tentang Suami yang di bandrol 10.000 Gulden, hidup maupun mati.

Istri mana yang rela Suami tercintanya di wartakan sebagai pemberontak oleh belanda dan di beri hadiah 10.000 gulden bagi siapa yang bisa menangkapnya hidup maupun mati. Tentunya tak ada. Begitu pula dengan Rukmini (Istri Sroedji), Rukmini geram namun masih bisa tersenyum sebab dengan berita itu meyakinkan dia kalau Suaminya masih hidup dan tetap berjuang untuk Tanah Air.

Didikan ketika menjadi Perwira  PETA membuat Sroedji berani dan kuat, sampai ketika agresi militer ke 2. Ketika Jepang kembali ke negara asalnya dan Belanda masuk kembali ke Indonesia.

Pertempuran hebat yang mengakhiri langkah kecil Senopati terhenti. Penyiksan padanya mulai terjadi meski sudah tak bernyawa, sampai darah menjadi perekat debu-debu jalan pada sekujur tubuh, kerikil jalan menjadi amplas alami yang membuat kulitnya tergores. Dia diseret oleh truk pasukan Belanda. Rukmini yang mendengar kabar itu mengunjungi tempat istirahat terakhir sang Suami tercintanya, menggandeng buah hatinya ke gundukan tanah yang tertancap batu nisan.

Novel sejarah ini begitu membiusku, seakan aku masuk dalam lorong waktu yang menjadikan aku berimaji tentang situasi saat itu. Saat nama mulai disamarkan demi keselamatan, ketika Istri yang sedang mengandung delapan bulan berjalan dari Jember ke Kediri, ketika sahabat harus berpisah akibat penghianatan sang anak buah, dan ketika anak tak lagi bisa melihat sang bapak.

Membaca buku ini mengingatkan aku tentang sosok anak kecil yang tak tahu pahlawan kotanya sendiri. Ya. Itu aku.

Jika di tanya :
Siapa pahlawan kota Jember? Aku akan lantang menjawab Mochammad Sroedji, Soebandi dengan lantang untuk saat ini.
Tapi apa itu akan seirama dengan anak-anak usia SD atau SMP yang ada di sekitarku? Sepertinya tidak. Mungkin mereka akan menjawab dengan nama-nama lain yang tertera di buku pelajaran sejarah, atau masih sibuk menuliskan kata kuci di mesin pencari.

Sejarah memang memosankan jika ditulis hanya untuk menyampaikan pesan, namun jika ditulis dengan cerita yang apik akan menjadikan kita senang membacanya tanpa harus kesal dengan tanggal-tanggal dan istilah-istilah asing di dalamnya.
Sang Patriot


10 Mar 2014 | By: Unknown

Vjlie Belajar Menulis

vj lie di cafe gumitir
Awalnya hanya tulisan oret-oretan saja yang aku punya, dengan secarik kertas aku menulis hal-hal penting, unik, dan tak ingin aku melupakan semua itu. Namun tulisan kecil itu terbuang juga pada akhirnya. Begitu terus dan berulang hingga aku mengenal dunia blog.

Blog memungkinkan semua tulisanku tak terbuang dan hilang, atau termakan tikus saat ditulis di buku catatan.
 
Aku mengenal blog sedari 15 November 2012, ketika itu aku datang di acara sederhana dan sekaligus acara tahun pertama pernikahan Mas Hakim dan Mbak Prit. Dari mas Bro (sapaan akrab mas Hakim) aku mulai mengenal menulis di blog, ada perbedaan saat itu, meski sama-sama menulis. Lantas aku tak langsung membuat saat itu, aku masih bimbang.

Saat aku menulis di blog aku merasa canggung, piye maneh tulisanku semrawut dan pokok mecotot.

Malu? Ya. 
Itu terjadi padaku ketika awal pertama aku menulis. Siapa yang tak malu ketika tulisan itu hanya bisa memuaskan diri sendiri, dan belum bisa dinikmati oleh banyak orang.
Bingung? Pasti.
Saat pertama menulis aku bingung apa yang mau aku tulis, beda hanya saat secarik kertas-kertas yang aku goreskan pena untuk sekedar tak lupa.

Menulis di blog berarti memberi kesempatan pada orang untuk menilai tulisanmu. Meski blog bisa di buat tertutup atau tak biasa di komentari, Namun itu kurang menantang untuk aku yang sedang belajar menulis di blog.

Bermodalkan Tablet aku mulai menulis sebisanya, menulikan apa yang aku lihat dan aku rasa saat itu. setidaknya ini bisa menggantikan secarik kertas yang pernah aku pakai sebelum mengenal blog. Sempat terhenti sebentar, tepatnya beberapa bulan. Aku menghentika menulis untuk belajar merangkai kata lewat membaca beberapa buku dan blog, gaya penulisan yang mengalir juga tak luput aku pelajari, hingga saat aku menuliskan ini.

Aku mempelajari itu karna aku tak mau tulisanku belepotan, dan semrawut kayak Mie Apong dalam mangkuk.

Namun semuanya bisa di atasi ketika sudah terbiasa. Bisa itu bisa karena kita sudah tebiasa asal mau belajar. Bisa Karena Terbiasa inilah yang mendorong aku harus tetap menulis, toh nanti juga bakalan terbiasa menulis. Halah kok dadi ruwe se.

""jika umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan.." Pramoedya Ananta Toer. Kata-kata ini pernah di ulang oleh mas Bro yang membuat aku tambah pengen menulis.

Kata yang membuat aku tak ingin di lupakan begitu saja oleh orang-orang sekitar ku. Aku ingin orang-orang terdekat masih bisa mengenang sosok vjlie (aku) dari tulisan yang aku buat, ketika aku sudah terpejam dan terkubur dalam tanah nanti.

Sampai saat ini aku masih belajar merangkai kata yang tepat untuk tulisan-tulisanku, meski itu hanya tulisan sederhana, sesederhana aku ketika curhat. Paling tidak tulisanku mengalir dan tak membuat orang malas membaca ceritaku, celoteh dari anak desa yang tinggal di selatan kota Jember.
3 Mar 2014 | By: Unknown

Menjemput Peri Kecil

Ove di cafe Wuluhan, Jember
SMS dari Ovi masuk berkali-kali dalam ponselku. Ya. Peri Kecil, begitu aku menyebutnya. Dia mengingatkan aku untuk Sholat Jum'at dan janjiku yang akan menjemputnya di Terminal Bungurasih. 

"Say kamu jadikan jemput aku nanti di Surabaya" Dia meragukak janjiku karna kemarin aku sempat tidak enak badan.
"Iya aku jemput" Dalam pesan balasanku pada Ovi.

Hari Jum'at yang panas.

Motor warna merah milikku sudah siap mengantarku diterminal Jember, Ketika itu jam 1 siang, saat panas masih menyengat dikulit. Namun aku sudah janji. Setibaku di terminal Tawang Alun, aku memarkirkan motor di dekat pintu barat terminal.

"Di ambil nanti malam pak" Sembari aku menanda tangani buku parkir yang tertera nomor polisi sepedah motorku.
"Rp.5000" kata petugas parkir yang memberi ku karcis.

Ini kali kedua aku menjemput Ovi di Terminal Bungurasih, dengan alasan yang sama aku menjemputnya kembali.

Semua karena Sayang.

Ada yang bilang kayak gak ada kerjaan aja dari Jember ke Surabaya lalu ke Jember lagi di waktu itu juga, tapi itu bukan masalah buatku. Sebab yang masalah buatku adalah seorang perempuan yang sekarang aku sayang naik bus dari Surabaya ke Jember sendirian pada malam hari.

Khawatir dan takut terjadi apa-apa membuat aku menjemput Ovi di Surabaya. Perjalanan seperti ini hanya saat Ovi berangkat malam saja, jika berangkat pagi aku tak menjemputnya di Surabaya. Aku biasa menunggunya di Terminal Jember sembari bertemu kawan lama jika Ovi berangkat Pagi dari Surabaya.

Ovi memang sudah beberapa kali ke Jember, Dia menghabiskan waktu libur ke Jember ketika sudah penat dengan pekerjaannya yang di Surabaya. Tentunya juga bertemu dengan Ku.

Jam 13:30 wib

Aku mulai menaiki Bus Patas Jatim menuju Surabaya, kali ini aku menaiki Bus P.O Mila. Bus yang aku tumpangi cukup nyaman dengan kursi empuk dan kamar kecil dekat pintu belakang, namun sekarang ada yang membuatku tak nyaman ruangan AC dalam bus membuat bau duren gak hilang-hilang.

"Ach... Kenapa duren di bawa masuk???" pikirku kesal.

Beberapa menit aku mengalihkan perhatianku dengan bau duren di ruangan dengan memandangi arah luar gak cukup buat rasa mual ini hilang. Tempat dudukku mendukung untuk ini, sebab aku duduk di samping kaca yang bisa melihat banyak variasi pemandangan, sawah, rumah, dan pasar. Tapi mau gimana lagi semua itu gak membuat mual ini ilang.

Ponsel ku ambil saku jaket sebelah kanan dan sms ke Ovi.
"Say perut aku gak enak, munek-munek rasane"
"knp lho"
"Bau duren dalam bus"
"hahahaha.... Bukane enak bau duren"
"Megelno, lek mambu keterusan yo gak enak pisan"

Upaya mengalihkan perhatian dari perut mualku dengan SMS juga gak membuahkan hasil, yang ada aku malah pusing dengan huruf kecil-kecil yang aku ketik dari HP ku.

"Sudah dulu ya, aku tambah mual" SMS trakhirku pada Ovi dan sekaligus aku menyenderkan kepala berharap bisa tidur.

Alhamdulillah aku bisa tidur akhirnya.

Aku terbangun dan bau itu serasa sudah akrab dengan hidung dan perutku.
"Sudah sampai Probolinggo, masih kurang separuh perjalanan", aku mulai tenang dan memulai percakapan dengan orang yang duduk di sampingku. Sepertinya aku tidak asing dengan logat dari bapak ini.

"Asalnya dari mana pak?" tanyaku untuk menjawab rasa penasaran yang sepertinya aku mengenal logatnya.
"Dari Sumedang"
Nah.... Benar, aku tak salah menebak asal bapak ini tinggal. Logat sunda itu terasa tak asing untuk telingaku. Jadi ingat dulu ketika aku masih berada di Karawang. Ya. Aku sempat tinggal di tanah Pasundan beberapa tahun, jadi logat itu terasa tidak asing bagiku.

Percakapan terus berlangsung hingga sampai kota Pasuruan, dan aku kembali memangdangi arah luar yang menyajikan masih kokohnya bangunan-bangunan kuno masa penjajahan Belanda dulu. Beberapa bangunan tak terurus, dan beberapa lagi bagus dengan pemanfaatan sebagai tempat makan. Andai aku punya uang banyak, aku juga ingin punya tempat bergaya bangunan Belanda yang kujadikan Cafe. Seperti mimpiku di bangunan bekas Jember Outlet.

Senja di langit pasuruan mulai berganti malam, dan sudah tidak terhitung berapa kali aku ganti posisi duduk.

"henggggg....hengggg..." HP ku bergetar. Oh...Dari Ovi yang menanyakan posisiku
"Sudah sampai mana?" Dia beberapa kali menanyakan itu, hanya ingin memastikan jika nanti ketika dia berangkat dari Geresik aku tak terlalu lama menunggu di terminal.
"Sudah masuk tol, sebentar lagi sampai kok"
"Aku siap-siap, bentar lagi berangkat dari rumah, disini grimis"

Bus yang ku tumpangi mengurangi kecepatannya.
"Sepertinya sudah mau keluar tol" namun aku salah, ternyata macet panjang berada di depan.
"Ach...bakal lama nie" beberapa menit berlalu dengan bus berjalan lamban sampai aku tiba di Terminal Bungurasih.
"Aku sudah sampai terminal Say"
"Aku masih di bus mungkin akan lama, soalnya macet" Ovi terjebak macet yang sama sepertiku tadi.

Di bawah lampu jalan aku menunggu Ovi dan berpindah ke warung pojok terminal ketika perut ini mulai membunyikan suara khasnya yang sedang kosong.
Nasi Campur dengan lauk rempelo dan minuman teh manis hangat mengisi perut ku, tak tersa sudah 30 menit dan aku memesan Kopi Hitam untuk menemani ku menunggu Bus P8 yang di tumpangi Ovi datang.

Pijat di Trotoar Terminal Bungurasih
Terlihat dua bapak-bapak berjalan ke arahku dengan membawa gulungan karpet yang cukup besar, entah itu apa. Aku hanya memperhatikan dengan santai di bangku depan warung. Bapak itu menyapu trotoar jalan samping barat warung, di bawah pohon rindang yang aku tak tahu nama pohonnya. membersihkan kubangan air dengan sapu korek dan menggelar karpet yang dibawahnya.

"Mau apa bapak ini?" tanyaku dalam hati.

Di gelarnya kasur tipis dengan sprei dan lengkap beserta bantal di atas karpet tadi. Aku baru tahu maksudnya setelah salah satu orang menghampirinya meminta di pijat. Dua bapak ini adalah tukang pijat di trotoar Terminal Bungurasih. untuk memijat bapak ini menggunakan "hand and body lotion" untuk memper mudah ketika mengurut otot-otot yang letih dari si pasien.
Hiruk pikuk dalam terminal bukan menjadi alasan dua bapak ini. Aku melihat salah satu bapak itu mulai memijit dan terlihat sangat piawai, namun sayang aku belum bisa ngobrol panjang dengan tukang pijit satu ini, sebab bus yang di tumpangi Ovi sudah datang di terminal.

Ovi yang memakai jaket merah muda kesayangannya mulai melangkah turun dan menjumpaiku. Kami mulai ngobrol tentang perjalanan tadi, perut mualku, macet, dan lain-lain sembari berjalan menuju keluar untuk menumpang bus ke Jember.